Sahabat Bunda Dalam Mengoptimalkan

Sahabat Bunda Dalam Mengoptimalkan Perkembangan Anak

Kamis, 24 Februari 2011

Dekapan Bunda: Anak Tantrum

Dekapan Bunda: Anak Tantrum: "Andi menangis, menjerit-jerit dan berguling-guling di lantai karena menuntut ibunya untuk membelikan mainan mobil-mobilan di sebuah hyperma..."

Anak Tantrum

Andi menangis, menjerit-jerit dan berguling-guling di lantai karena 
menuntut ibunya untuk membelikan mainan mobil-mobilan di sebuah hypermarket di 
Jakarta? Ibunya sudah berusaha membujuk Andi dan mengatakan bahwa sudah banyak 
mobil-mobilan di rumahnya. Namun Andi malah semakin menjadi-jadi. Ibunya 
menjadi serba salah, malu dan tidak berdaya menghadapi anaknya. Di satu sisi, 
ibunya  tidak ingin membelikan mainan tersebut karena masih ada kebutuhan lain 
yang lebih mendesak. Namun disisi lain, kalau tidak dibelikan maka ia kuatir 
Andi akan menjerit-jerit  semakin lama dan keras, sehingga menarik perhatian 
semua orang dan orang bisa saja menyangka dirinya adalah orangtua yang kejam. 
Ibunya menjadi bingung....., lalu akhirnya ia terpaksa membeli mainan yang 
diinginkan Andi. Benarkah tindakan sang Ibu?
Temper Tantrum 
Kejadian di atas merupakan suatu kejadian yang disebut sebagai Temper 
Tantrums atau suatu luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. 
Temper Tantrum (untuk selanjutnya disebut sebagai Tantrum) seringkali muncul 
pada anak usia 15 (lima belas) bulan sampai 6 (enam) tahun. 
     
Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. 
Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap "sulit", dengan 
ciri-ciri sebagai berikut: 
  1. Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.
  2. Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
  3. Lambat beradaptasi terhadap perubahan.
  4. Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif.
  5. Mudah terprovokasi, gampang merasa marah/kesal.
  6. Sulit dialihkan perhatiannya.
Tantrum termanifestasi dalam berbagai perilaku. Di bawah ini adalah 
beberapa contoh perilaku Tantrum, menurut tingkatan usia: 
Di bawah usia 3 tahun: 
  1. Menangis
  2. Memukul
  3. Menggigit
  4. Menendang 
  5. Menjerit 
  6. Memekik-mekik 
  7. Melengkungkan punggung 
  8. Melempar badan ke lantai 
  9. Memukul-mukulkan tangan
  10. Menahan nafas 
  11. Membentur-benturkan kepala 
  12. Melempar-lempar barang
Usia 3 - 4 tahun: 
  1. Perilaku-perilaku tersebut diatas 
  2. Menghentak-hentakan kaki 
  3. Berteriak-teriak 
  4. Meninju 
  5. Membanting pintu 
  6. Mengkritik 
  7. Merengek
Usia 5 tahun ke atas:    
  1. Perilaku- perilaku tersebut pada 2 (dua) kategori usia di atas
  2. Memaki
  3. Menyumpah
  4. Memukul kakak/adik atau temannya
  5. Mengkritik diri sendiri
  6. Memecahkan barang dengan sengaja
  7. Mengancam
Faktor Penyebab   
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Tantrum. Diantaranya 
adalah sebagai berikut: 
  1. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu. Setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, anak mungkin saja memakai cara Tantrum untuk menekan orangtua agar mendapatkan yang ia inginkan, seperti pada contoh kasus di awal.
  2. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri. Anak-anak punya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtuapun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustrasi dan terungkap dalam bentuk Tantrum.
  3. Tidak terpenuhinya kebutuhan. Anak yang aktif membutuh ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus  menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia  tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah Tantrum. Contoh lain: anak butuh kesempatan untuk mencoba kemampuan baru yang dimilikinya. Misalnya anak umur 3 tahun yang ingin mencoba makan sendiri, atau umur anak 4 tahun ingin mengambilkan minum yang memakai wadah gelas kaca, tapi tidak diperbolehkan oleh orangtua atau pengasuh. Maka untuk melampiaskan rasa marah atau kesal karena tidak diperbolehkan, ia memakai cara Tantrum agar diperbolehkan.
  4. Pola asuh orangtua. Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan Tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku Tantrum. Orangtua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak Tantrum. Misalnya, orangtua yang tidak punya pola jelas kapan ingin melarang kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu dan orangtua yang seringkali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum. Anak akan dibingungkan oleh orangtua dan menjadi Tantrum ketika orangtua benar-benar menghukum. Atau pada ayah-ibu yang tidak sependapat satu sama lain, yang satu memperbolehkan anak, yang lain melarang. Anak bisa jadi akan Tantrum agar mendapatkan keinginannya dan persetujuan dari kedua orangtua.
  5. Anak merasa lelah, lapar, atau dalam keadaan sakit.
  6. Anak sedang stres (akibat tugas sekolah, dll) dan karena merasa tidak aman (insecure).
Tindakan 
Dalam buku Tantrums Secret to Calming the Storm (La Forge: 1996) banyak 
ahli perkembangan anak menilai bahwa Tantrum adalah suatu perilaku yang masih 
tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode 
dalam perkembangan fisik, kognitif dan emosi anak. Sebagai bagian dari proses 
perkembangan, episode Tantrum pasti berakhir.  Beberapa hal positif yang bisa 
dilihat dari perilaku Tantrum adalah bahwa dengan Tantrum anak ingin 
menunjukkan independensinya, mengekpresikan individualitasnya, mengemukakan 
pendapatnya, mengeluarkan rasa marah dan frustrasi dan membuat orang dewasa 
mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit. Namun demikian bukan berarti 
bahwa Tantrum sebaiknya harus dipuji dan  disemangati (encourage). Jika 
orangtua membiarkan Tantrum berkuasa (dengan memperbolehkan anak mendapatkan 
yang diinginkannya setelah ia Tantrum, seperti ilustrasi di atas) atau bereaksi 
dengan hukuman-hukuman yang keras dan paksaan-paksaan, maka berarti orangtua 
sudah menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan 
agresif (padahal sebenarnya tentu orangtua tidak setuju dan tidak menginginkan 
hal tersebut). Dengan bertindak keliru dalam menyikapi Tantrum, orangtua juga 
menjadi kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang 
bagaimana caranya bereaksi terhadap emosi-emosi yang normal (marah, frustrasi, 
takut, jengkel, dll) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang 
tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang 
merasakan emosi tersebut. 
Pertanyaan sebagian besar orangtua adalah bagaimana cara terbaik dalam 
menyikapi anak yang mengalami Tantrum. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kami 
mencoba untuk memberikan beberapa saran tentang tindakan-tindakan yang 
sebaiknya dilakukan oleh orangtua untuk mengatasi hal tersebut. 
Tindakan-tindakan ini terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:          
  1. Mencegah terjadinya Tantrum 
  2. Menangani Anak yang sedang mengalami Tantrum
  3. Menangani anak pasca Tantrum
Pencegahan 
Langkah pertama untuk mencegah terjadinya Tantrum adalah dengan mengenali 
kebiasaan-kebiasaan anak, dan mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi 
seperti apa muncul Tantrum pada si anak. Misalnya, kalau orangtua tahu bahwa 
anaknya merupakan anak yang aktif bergerak dan gampang stres jika terlalu lama 
diam dalam mobil di perjalanan yang cukup panjang. Maka supaya ia tidak 
Tantrum, orangtua perlu mengatur agar selama perjalanan diusahakan 
sering-sering beristirahat di jalan, untuk memberikan waktu bagi anak 
berlari-lari di luar mobil.  
Tantrum juga dapat dipicu karena stres akibat tugas-tugas sekolah yang 
harus dikerjakan anak. Dalam hal ini mendampingi anak pada saat ia mengerjakan 
tugas-tugas dari sekolah (bukan membuatkan tugas-tugasnya lho!!!) dan 
mengajarkan hal-hal yang dianggap sulit, akan membantu mengurangi stres pada 
anak karena beban sekolah tersebut. Mendampingi anak bahkan tidak terbatas pada 
tugas-tugas sekolah, tapi juga pada permainan-permainan, sebaiknya anak pun 
didampingi orangtua, sehingga ketika ia mengalami kesulitan orangtua dapat 
membantu dengan memberikan petunjuk.             
Langkah kedua dalam mencegah Tantrum adalah dengan melihat bagaimana cara 
orangtua mengasuh anaknya. Apakah anak terlalu dimanjakan? Apakah orangtua 
bertindak terlalu melindungi (over protective), dan terlalu suka melarang? 
Apakah kedua orangtua selalu seia-sekata dalam mengasuh anak? Apakah orangtua 
menunjukkan konsistensi dalam perkataan dan perbuatan?  
Jika anda merasa terlalu memanjakan anak, terlalu melindungi dan 
seringkali melarang anak untuk melakukan aktivitas yang sebenarnya sangat 
dibutuhkan anak, jangan heran jika anak akan mudah tantrum jika kemauannya 
tidak dituruti. Konsistensi dan kesamaan persepsi dalam mengasuh anak juga 
sangat berperan. Jika ada ketidaksepakatan, orangtua sebaiknya jangan berdebat 
dan beragumentasi satu sama lain di depan anak, agar tidak menimbulkan 
kebingungan dan rasa tidak aman pada anak. Orangtua hendaknya menjaga agar anak 
selalu melihat bahwa orangtuanya selalu sepakat dan rukun. 

Ketika Tantrum Terjadi
Jika Tantrum tidak bisa dicegah dan tetap terjadi, maka beberapa tindakan 
yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua adalah:
  1. Memastikan segalanya aman. Jika Tantrum terjadi di muka umum, pindahkan anak ke tempat yang aman untuknya melampiaskan emosi. Selama Tantrum (di rumah maupun di luar rumah), jauhkan anak dari benda-benda, baik benda-benda yang membahayakan dirinya atau justru jika ia yang membahayakan keberadaan benda-benda tersebut. Atau jika selama Tantrum anak jadi menyakiti teman maupun orangtuanya sendiri, jauhkan anak dari temannya tersebut dan jauhkan diri Anda dari si anak.
  2. Orangtua harus tetap tenang, berusaha menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak marah pada anak.
  3. Tidak mengacuhkan Tantrum anak (ignore). Selama Tantrum berlangsung, sebaiknya tidak membujuk-bujuk, tidak berargumen, tidak memberikan nasihat-nasihat moral agar anak menghentikan Tantrumnya, karena anak toh tidak akan menanggapi/mendengarkan. Usaha menghentikan Tantrum seperti itu malah biasanya seperti menyiram bensin dalam api, anak akan semakin lama Tantrumnya dan meningkat intensitasnya. Yang terbaik adalah membiarkannya. Tantrum justru lebih cepat berakhir jika orangtua tidak berusaha menghentikannnya dengan bujuk rayu atau paksaan.
  4. Jika perilaku Tantrum dari menit ke menit malahan bertambah buruk dan tidak selesai-selesai, selama anak tidak memukul-mukul Anda, peluk anak dengan rasa cinta. Tapi jika rasanya tidak bisa memeluk anak dengan cinta (karena Anda sendiri rasanya malu dan jengkel dengan kelakuan anak), minimal Anda duduk atau berdiri berada dekat dengannya. Selama melakukan hal inipun tidak perlu sambil menasihati atau complaint (dengan berkata: "kamu kok begitu sih nak, bikin mama-papa sedih"; "kamu kan sudah besar, jangan seperti anak kecil lagi dong"), kalau ingin mengatakan sesuatu, cukup misalnya dengan mengatakan "mama/papa sayang kamu", "mama ada di sini sampai kamu selesai". Yang penting di sini adalah memastikan bahwa anak merasa aman dan tahu bahwa orangtuanya ada dan tidak menolak (abandon) dia.
Ketika Tantrum Telah Berlalu 
Saat Tantrum anak sudah berhenti, seberapapun parahnya ledakan emosi yang 
telah terjadi tersebut, janganlah diikuti dengan hukuman, nasihat-nasihat, 
teguran, maupun sindiran. Juga jangan diberikan hadiah apapun, dan anak tetap 
tidak boleh mendapatkan apa yang diinginkan (jika Tantrum terjadi karena 
menginginkan sesuatu). Dengan tetap tidak memberikan apa yang diinginkan si 
anak, orangtua akan terlihat konsisten dan anak akan belajar bahwa ia tidak 
bisa memanipulasi orangtuanya. 
Berikanlah rasa cinta dan rasa aman Anda kepada anak. Ajak anak, membaca 
buku atau bermain sepeda bersama. Tunjukkan kepada anak, sekalipun ia telah 
berbuat salah, sebagai orangtua Anda tetap mengasihinya. 
Setelah Tantrum berakhir, orangtua perlu mengevaluasi mengapa sampai 
terjadi Tantrum. Apakah benar-benar anak yang berbuat salah atau orangtua yang 
salah merespon perbuatan/keinginan anak? Atau karena anak merasa lelah, 
frustrasi, lapar, atau sakit? Berpikir ulang ini perlu, agar orangtua bisa 
mencegah Tantrum berikutnya.  
Jika anak yang dianggap salah, orangtua perlu berpikir untuk mengajarkan 
kepada anak nilai-nilai  atau cara-cara baru agar anak tidak mengulangi 
kesalahannya. Kalau memang ingin mengajar dan memberi nasihat, jangan dilakukan 
setelah Tantrum berakhir, tapi lakukanlah ketika keadaan sedang tenang dan 
nyaman bagi orangtua dan anak. Waktu yang tenang dan nyaman adalah ketika 
Tantrum belum dimulai, bahkan ketika tidak ada tanda-tanda akan terjadi 
Tantrum. Saat orangtua dan anak sedang gembira, tidak merasa frustrasi, lelah 
dan lapar merupakan saat yang ideal. 

Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa kalau orangtua memiliki anak yang 
"sulit" dan mudah menjadi Tantrum, tentu tidak adil jika dikatakan sepenuhnya 
kesalahan orangtua. Namun harus diakui bahwa orangtualah yang punya peranan 
untuk membimbing  anak dalam mengatur emosinya dan mempermudah kehidupan anak 
agar Tantrum tidak terus-menerus meletup. Beberapa saran diatas mungkin dapat 
berguna bagi anda terutama bagi para ibu/ayah muda yang belum memiliki 
pengalaman mengasuh anak. Selamat membaca, semoga bermanfaat.
     

Sabtu, 19 Februari 2011

Raksasa Yang Egois

Dahulu kala, ada sebuah taman yang sangat luas dan cantik, milik seorang raksasa. Taman itu sangat indah dengan rumput yang hijau dan lembut, bunga-bunga yang cantik, dan puluhan pohon yang berbuah lebat.

Setiap siang, anak-anak masuk ke dalam taman itu untuk bermain dan mendengarkan burung-burung berkicau merdu dari pohon-pohon.  

Raksasa marahRaksasa sedang pergi selama 5 tahun mengunjungi keluarganya di negeri lain. Sekarang, dia kembali ke rumahnya, sebuah rumah yang sangat besar dengan taman di depannya.  Saat tiba di taman, ia melihat anak-anak sedang bermain disana. Raksasa lalu memarahi mereka, “Apa yang kalian lakukan disini? Pergi! Ini taman milikku!” Anak-anak yang ketakutan berlari meninggalkan taman itu.  

Karena tidak ingin ada orang lain yang ikut menikmati keindahan tamannya lagi, raksasa lalu membangun tembok yang tinggi mengelilingi taman itu, dan memadang tulisan “Yang masuk tanpa ijin akan dihukum!” Anak-anak kehilangan taman itu. Sesekali mereka memanjat dan melongok melewati tembok yang tinggi, memandangi taman itu dan dengan sedihnya membicarakan permainan-permainan yang dulu mereka lakukan disana. 

Hari demi hari berlalu. Bunga-bunga di taman itu tidak lagi bermekaran. Burung-burung tidak lagi berkicau dan pohon-pohon berhenti berbuah. Rumput dan daun-daun yang dulunya subur dan hijau kini menjadi kering dan berwarna coklat.  Raksasa tidak mengerti mengapa taman miliknya menjadi tidak indah lagi. 

Pada suatu pagi, raksasa mendengar suara musik yang mengalun. Ternyata itu adalah suara kicauan burung di luar jendelanya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia mendengar kicauan burung yang indah seperti itu.  

Raksasa mendekat ke jendela dan mendengarkan kicauan burung itu dengan sedih. “Apa yang terjadi dengan tamanku? Aku berharap tamanku bisa menjadi indah seperti dulu, dengan burung-burung yang berkicau merdu seperti kamu.” kata raksasa kepada burung itu.  Burung itu terbang mendekati raksasa dan berkata “Tamanmu tidak akan sama lagi tanpa kehadiran anak-anak itu. Tamanmu merindukan gelak tawa dan suara anak-anak yang riang. Pohon, bunga-bunga, rumput, dan kami para burung menginginkan kehadiran anak-anak yang menjadikan tempat ini kembali penuh keceriaan.” 

Raksasa menyadari kesalahannya. Selama ini ia terlalu egois, dan akibatnya ia hidup sendirian dan merasa kesepian.  

Raksasa pun mengambil palu besar dan menghancurkan tembok yang mengelilingi tamannya. Dibuangnya tulisan peringatan yang dipasangnya dulu, dan dipanggilnya anak-anak untuk bermain di taman.  Awalnya anak-anak merasa takut. Akan tetapi ketika mereka melihat wajah raksasa yang sekarang menjadi ramah, mereka mengikutinya ke taman untuk bermain disana. Lagipula, anak-anak itu juga rindu bermain di taman itu. 

Taman milik raksasa itu pun kembali penuh dengan anak-anak yang bermain gembira. Bunga-bunga pun kembali bermekaran diantara rerumputan yang hijau. Daun-daun dan buah-buahan memenuhi pohon-pohon, beserta burung-burung yang berkicau dengan merdu.  

Raksasa berkata kepada anak-anak, “Sekarang, tamanku adalah taman milik kalian juga.” Sekarang raksasa tidak hanya memiliki sebuah taman yang indah, tetapi ia juga memiliki banyak teman-teman kecil yang ceria.  

Si Kancil dan Siput

Pada suatu hari si kancil nampak ngantuk sekali. Matanya serasa berat sekali untuk dibuka. “Aaa....rrrrgh”, si kancil nampak sesekali menguap. Karena hari itu cukup cerah, si kancil merasa rugi jika menyia-nyiakannya. Ia mulai berjalan-jalan menelusuri hutan untuk mengusir rasa kantuknya. Sampai di atas sebuah bukit, si Kancil berteriak dengan sombongnya, “Wahai penduduk hutan, akulah hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar di hutan ini. Tidak ada yang bisa menandingi kecerdasan dan kepintaranku”.
Sambil membusungkan dadanya, si Kancil pun mulai berjalan menuruni bukit. Ketika sampai di sungai, ia bertemu dengan seekor siput. “Hai kancil !”, sapa si siput. “Kenapa kamu teriak-teriak? Apakah kamu sedang bergembira?”, tanya si siput. “Tidak, aku hanya ingin memberitahukan pada semua penghuni hutan kalau aku ini hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar”, jawab si kancil dengan sombongnya.
Siput“Sombong sekali kamu Kancil, akulah hewan yang paling cerdik di hutan ini”, kata si Siput. “Hahahaha......., mana mungkin” ledek Kancil. “Untuk membuktikannya, bagaimana kalau besok pagi kita lomba lari?”, tantang si Siput. “Baiklah, aku terima tantanganmu”, jawab si Kancil. Akhirnya mereka berdua setuju untuk mengadakan perlombaan lari besok pagi.
Setelah si Kancil pergi, si siput segera mengumpulkan teman-temannya. Ia meminta tolong agar teman-temannya berbaris dan bersembunyi di jalur perlombaan, dan menjawab kalau si kancil memanggil.
Akhirnya hari yang dinanti sudah tiba, kancil dan siput pun sudah siap untuk lomba lari. “Apakah kau sudah siap untuk berlomba lari denganku”, tanya si kancil. “Tentu saja sudah, dan aku pasti menang”, jawab si siput. Kemudian si siput mempersilahkan kancil untuk berlari dahulu dan memanggilnya untuk memastikan sudah sampai mana si siput.
Kancil berjalan dengan santai, dan merasa yakin kalau dia akan menang. Setelah beberapa langkah, si kancil mencoba untuk memanggil si siput. “Siput....sudah sampai mana kamu?”, teriak si kancil. “Aku ada di depanmu!”, teriak si siput. Kancil terheran-heran, dan segera mempercepat langkahnya. Kemudian ia memanggil si siput lagi, dan si siput menjawab dengan kata yang sama.”Aku ada didepanmu!”
Akhirnya si kancil berlari, tetapi tiap ia panggil si siput, ia selalu muncul dan berkata kalau dia ada depan kancil. Keringatnya bercucuran, kakinya terasa lemas dan nafasnya tersengal-sengal.
Kancil berlari terus, sampai akhirnya dia melihat garis finish. Wajah kancil sangat gembira sekali, karena waktu dia memanggil siput, sudah tidak ada jawaban lagi. Kancil merasa bahwa dialah pemenang dari perlombaan lari itu.
Betapa terkejutnya si kancil, karena dia melihat si siput sudah duduk di batu dekat garis finish. “Hai kancil, kenapa kamu lama sekali? Aku sudah sampai dari tadi!”, teriak si siput. Dengan menundukkan kepala, si kancil menghampiri si siput dan mengakui kekalahannya. “Makanya jangan sombong, kamu memang cerdik dan pandai, tetapi kamu bukanlah yang terpandai dan cerdik”, kata si siput. “Iya, maafkan aku siput, aku tidak akan sombong lagi”, kata si kancil.

Peri dan Hutan Berkabut

Di sebuah desa hiduplah seorang anak perempuan yang lugu. Sheila namanya. Ia senang sekali bermain di tepi hutan. Ibunya selalu mengingatkannya agar tak terlalu jauh masuk ke hutan. Penduduk desa itu percaya, orang yang terlalu jauh masuk ke hutan, tak akan pernah kembali. Bagian dalam hutan itu diselubungi kabut tebal. Tak seorang pun dapat menemukan jalan pulang jika sudah tersesat.
Sheila selalu mengingat pesan ibunya. Namun ia juga penasaran ingin mengetahui daerah berkabut itu. Setiap kali pergi bermain, ibu Sheila selalu membekalinya dengan sekantong kue, permen, coklat, dan sebotol jus buah. Sheila sering datang ke tempat perbatasan kabut di hutan. Ia duduk di bawah pohon dan menikmati bekalnya di sana. Sheila ingin sekali melangkahkan kakinya ke dalam daerah berkabut itu. Namun ia takut.
Suatu kali, seperti biasa Sheila datang ke daerah perbatasan kabut. Seperti biasa ia duduk menikmati bekalnya. Tiba-tiba Sheila merasa ada beberapa pasang mata memperhatikannya. Ia mengarahkan pandangan ke sekeliling untuk mencari tahu. Namun Sheila tak menemukan siapa-siapa. “Hei! Siapa pun itu, keluarlah! Jika kalian mau, kalian dapat makan kue bersamaku,” teriak Sheila penasaran.
Mendengar tawaran Sheila, beberapa makhluk memberanikan diri muncul di depan Sheila. Tampak tiga peri di hadapan Sheila. Tubuh mereka hanya separuh tinggi badan Sheila. Di punggungnya ada sayap. Telinga mereka berujung lancip. Dengan takut-takut mereka menghampiri Sheila. Anak kecil pemberani itu tanpa ragu-ragu menyodorkan bekalnya untuk dimakan bersama-sama. Peri-peri itu bernama Pio, Plea, dan Plop. Ketiga peri itu kakak beradik.
Sejak saat itu Sheila dan ketiga kawan barunya sering makan bekal bersama-sama. Kadang mereka saling bertukar bekal. Suatu hari Sheila bertanya kepada ketiga temannya, “Pio, Plea, Plop. Mengapa ada daerah berkabut di hutan ini? Apa isinya? Dan mengapa tak ada yang pernah kembali? Kalian tinggal di hutan sebelah mana?” tanya Sheila penuh ingin tahu. Mendengar pertanyaan Sheila ketiga peri itu saling bertukar pandang. Mereka tahu jawabannya namun ragu untuk memberi tahu Sheila. Setelah berpikir sejenak, akhirnya mereka memberitahu rahasia hutan berkabut yang hanya diketahui para peri.
“Para peri tinggal di balik hutan berkabut. Termasuk kami. Kabut itu adalah pelindung agar tak seorang pun dapat masuk ke wilayah kami tanpa izin. Kami tiga bersaudara adalah peri penjaga daerah berkabut. Jika kabut menipis, kami akan meniupkannya lagi banyak-banyak. Jika ada tamu yang tak diundang masuk ke wilayah kami, kami segera membuatnya tersesat,” jelas Pio, Plea, Plop.
Sheila terkagum-kagum mendengarnya. “Bisakah aku datang ke negeri kalian suatu waktu?” tanya Sheila berharap. Ketiga peri itu berembuk sejenak. “Baiklah. Kami akan mengusahakannya,” kata mereka. Tak lama kemudian Sheila diajak Pio, Plea dan Plop ke negeri mereka. Hari itu Sheila membawa kue, coklat, dan permen banyak-banyak. Sebelumnya, Sheila didandani seperti peri oleh ketiga temannya. Itu supaya mereka bisa mengelabui para peri lain. Sebenarnya manusia dilarang masuk ke wilayah peri. Ketiga teman Sheila ini juga memberi kacamata khusus pada Sheila. Dengan kacamata itu Sheila dapat melihat dengan jelas.
Daerah berkabut penuh dengan berbagai tumbuhan penyesat. Berbagai jalan yang berbeda nampak sama. Jika tidak hati-hati maka akan tersesat dan berputar-putar di tempat yang sama. Dengan bimbingan Pio, Plea, dan Plop akhirnya mereka semua sampai ke negeri peri. Di sana rumah tampak mungil. Bentuknya pun aneh-aneh. Ada rumah berbentuk jamur, berbentuk sepatu, bahkan ada yang berbentuk teko. Pakaian mereka seperti kostum untuk karnaval. Kegiatan para peri pun bermacam-macam. Ada yang mengumpulkan madu, bernyanyi, membuat baju dari kelopak bunga… Semua tampak riang gembira.
Sheila sangat senang. Ia diperkenalkan kepada anak peri lainnya. Mereka sangat terkejut mengetahui Sheila adalah manusia. Namun mereka senang dapat bertemu dan berjanji tak akan memberi tahu ratu peri. Rupanya mereka pun ingin tahu tentang manusia. Mereka bermain gembira. Sheila dan para anak peri berkejar-kejaran, bernyanyi, bercerita dan tertawa keras-keras. Mereka juga saling bertukar makanan. Pokoknya hari itu menyenangkan sekali.
Tiba-tiba ratu peri datang. “Siapa itu?” tanyanya penuh selidik. “Ratu, dia adalah teman hamba dari hutan utara,” jawab Plop takut. Ia terpaksa berbohong agar Sheila tak ketahuan. Ratu peri memperhatikan Sheila dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah itu ia pergi. Sheila bermain lagi dengan lincah. Namun sayang ia terpeleset. Sheila jatuh terjerembab. Ketika itu cuping telinga palsunya copot. Ratu peri melihat hal itu. Ia amat marah.
“Manusia! Bagaimana ia bisa sampai kemari? Siapa yang membawanya?” teriaknya mengelegar. Pio, Plea, dan Plop maju ke depan dengan gemetar. “Kami, Ratu,” jawab mereka gugup. “Ini pelanggaran. Jika ada manusia yang tahu tempat ini, maka tempat ini tidak aman lagi. Kalian harus dihukum berat,” teriak ratu peri marah. Sheila yang saat itu juga ketakutan memberikan diri maju ke depan. “Mereka tidak bersalah, Ratu. Akulah yang memaksa mereka untuk membawaku kemari.” “Kalau begitu, kau harus dihukum menggantikan mereka!” gelegar ratu peri.
Sheila dimasukkan ke dalam bak air tertutup. Ia akan direbus setengah jam. Namun ketika api sudah dinyalakan ia tidak merasa panas sedikit pun. “Keluarlah! Kau lulus ujian, ” kata ratu peri. Ternyata kebaikan hati Sheila membuat ia lolos dari hukuman. Ia diperbolehkan pulang dan teman perinya bebas hukuman. Ratu peri membuat Sheila mengantuk dan tertidur. Ia menghapus ingatan Sheila tentang negeri peri. Namun ia masih menyisakannya sedikit agar Sheila dapat mengingatnya di dalam mimpi. Ketika terbangun, Sheila berada di kasur kesayangannya.
 

Asal Mula Guntur

Dahulu kala peri dan manusia hidup berdampingan dengan rukun. Mekhala, si peri cantik dan pandai, berguru pada Shie, seorang pertapa sakti. Selain Mekhala, Guru Shie juga mempunyai murid laki-laki bernama Ramasaur. Murid laki-laki ini selalu iri pada Mekhala karena kalah pandai. Namun Guru Shie tetap menyayangi kedua muridnya. Dan tidak pernah membedakan mereka.
Suatu hari Guru Shie memanggil mereka dan berkata, “Besok, berikan padaku secawan penuh air embun. Siapa yang lebih cepat mendapatkannya, beruntunglah dia. Embun itu akan kuubah menjadi permata, yang bisa mengabulkan permintaan apapun.” Mekhala dan Ramasaur tertegun. Terbayang oleh Ramasaur ia akan meminta harta dan kemewahan. Sehingga ia bisa menjadi orang terkaya di negerinya. Namun Mekhala malah berpikir keras. Mendapatkan secawan air embun tentu tidak mudah, gumam Mekhala di dalam hati.
Esoknya pagi-pagi sekali kedua murid itu telah berada di hutan. Ramasaur dengan ceroboh mencabuti rumput dan tanaman kecil lainnya. Tetapi hasilnya sangat mengecewakan. Air embun selalu tumpah sebelum dituang ke cawan. Sebaliknya, Mekhala dengan hati-hati menyerap embun dengan sehelai kain lunak. Perlahan diperasnya lalu dimasukan ke cawan. Hasilnya sangat menggembirakan. Tak lama kemudian cawannya telah penuh. Mekhala segera menemui Guru Shie dan memberikan hasil pekerjaannya.
Guru Shie menerimanya dengan gembira. Mekhala memang murid yang cerdik. Seperti janjinya, Guru Shie mengubah embun itu menjadi sebuah permata sebesar ibu jari. ” Jika kau menginginkan sesuatu, angkatlah permata ini sejajar dengan keningmu. Lalu ucapkan keinginanmu,” ujar Guru Shie. Mekhala mengerjakan apa yang diajarkan gurunya, lalu menyebut keinginannya. Dalam sekejap Mekhala telah berada di langit biru. Melayang-layang seperti Rajawali. Indah sekali.
Sementara itu, baru pada senja hari Ramasaur berhasil mendapat secawan embun. Hasilnya pun tidak sejernih yang didapat Mekhala. Tergopoh-gopoh Ramasaur menyerahkannya pada Guru Shie. “Meskipun kalah cepat dari Mekhala, kau akan tetap mendapat hadiah atas jerih payahmu,” kata Guru Shie sambil menyerahkan sebuah kapak sakti. Kapak itu terbuat dari perak. Digunakan untuk membela diri bila dalam bahaya. Bila kapak itu dilemparkan ke sasaran, gunung pun bisa hancur.
Ternyata Ramasaur menyalahgunakan hadiah itu. Ia iri melihat Mekhala yang bisa melayang-layang di angkasa. Ramasaur segera melemparkan kapak itu ke arah Mekhala. Tahu ada bahaya mengancam, Mekhala menangkis kapak itu dengan permatanya. Akibatnya terjadilah benturan dahsyat dan cahaya yang sangat menyilaukan. Benturan itu terus terjadi hingga saat ini, berupa gelegar yang memekakkan telinga. Orang-orang menyebutnya “guntur”.

Anak Katak yang Sombong dan Anak Lembu

Di tengah padang rumput yang sangat luas, terdapat sebuah kolam yang dihuni oleh berpuluh-puluh katak. Diantara katak-katak tersebut ada satu anak katak yang bernama Kenthus, dia adalah anak katak yang paling besar dan kuat. Karena kelebihannya itu, Kenthus menjadi sangat sombong. Dia merasa kalau tidak ada anak katak lainnya yang dapat mengalahkannya.
 
Sebenarnya kakak Kenthus sudah sering menasehati agar Kentus tidak bersikap sombong pada teman-temannya yang lain. Tetapi nasehat kakaknya tersebut tidak pernah dihiraukannya. Hal ini yang menyebabkan teman-temannya mulai menghindarinya, hingga Kenthus tidak mempunyai teman bermain lagi.
 
Pada suatu pagi, Kenthus berlatih melompat di padang rumput. Ketika itu juga ada seekor anak lembu yang sedang bermain di situ. Sesekali, anak lembu itu mendekati ibunya untuk menyedot susu. Anak lembu itu gembira sekali, dia berlari-lari sambil sesekali menyenggok rumput yang segar. Secara tidak sengaja, lidah anak sapi yang dijulurkan terkena tubuh si Kenthus.
 
"Huh, berani makhluk ini mengusikku," kata Kenthus dengan perasaan marah sambil coba menjauhi anak lembu itu. Sebenarnya anak lembu itu pula tidak berniat untuk mengganggunya. Kebetulan pergerakannya sama dengan Kenthus sehingga menyebabkan Khentus menjadi cemas dan melompat dengan segera untuk menyelamatkan diri.
 
Sambil terengah-engah, Kenthus sampai di tepi kolam. Melihat Kenthus yang kelihatan sangat capek, kawan-kawannya nampak sangat heran. "Hai Khentus, mengapa kamu terengah-engah, mukamu juga kelihatan sangat pucat sekali,” Tanya teman-temannya.
 
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya cemas saja. Lihatlah di tengah padang rumput itu. Aku tidak tahu makhluk apa itu, tetapi makhluk itu sangat sombong. Makhluk itu hendak menelan aku." Kata Kenthus..
 
Kakaknya yang baru tiba di situ menjelaskan. " Makhluk itu anak lembu. sepengetahuan kakak, anak lembu tidak jahat. Mereka memang biasa dilepaskan di padang rumput ini setiap pagi."
 
"Tidak jahat? Kenapa kakak bias bilang seperti itu? Saya hampir-hampir ditelannya tadi," kata Kenthus. "Ah, tidak mungkin. Lembu tidak makan katak atau ikan tetapi hanya rumput." Jelas kakaknya lagi.
 
"Saya tidak percaya kakak. Tadi, aku dikejarnnya dan hampir ditendang olehnya." Celah Kenthus. "Wahai kawan-kawan, aku sebenarnya bisa melawannya dengan mengembungkan diriku," Kata Kenthus dengan bangga.
 
" Lawan saja Kenthus! Kamu tentu menang," teriak anak-anak katak beramai-ramai.
 
"Sudahlah Kenthus. Kamu tidak akan dapat menandingi lembu itu. Perbuatan kamu berbahaya. Hentikan!" kata Kakak Kenthus berulang kali tetapi Kenthus tidak mempedulikan nasehat kakaknya. Kenthus terus mengembungkan dirinya, karena dorongan dari teman-temannya. Sebenarnya, mereka sengaja hendak memberi pelajaran pada Kenthus yang sombong itu.
 
"Sedikit lagi Kenthus. Teruskan!" Begitulah yang diteriakkan oleh kawan-kawan Kenthus. Setelah perut Kenthus menggembung dengan sangat besar, tiba-tiba Kenthus jatuh lemas. Perutnya sangat sakit dan perlahan-lahan dikempiskannya. Melihat keadaan adiknya yang lemas, kakak Kenthus lalu membantu.
 
Mujurlah Kenthus tidak apa-apa. Dia sembuh seperti sedia kala tetapi sikapnya telah banyak berubah. Dia malu dan kesal dengan sikapnya yang sombong.